Masyarakat Jantuk
mengikuti Tradisi Tiu yang dilaksanakan seusai shalat Idul Fitri. |
SALAH seorang tokoh masyarakat Desa Jantuk, Muslimin
menjelaskan, Tradisi Tiu
merupakan tradisi nenek
moyang mereka sejak penjajahan Belanda sekitar tahun 1890 – an. Awal mulanya, tiu merupakan bendungan atau sungai
tempat biasa digunakan untuk memandikan kuda sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri. Kuda
– kuda tersebut ditunggangi secara beriringan dalam jumlah yang sangat banyak. ‘’Ini
(Tradisi Tiu, red) sudah sejak tahun
1890 – an,’’ ungkap Muslimin yang juga Kepala Dusun
Gubuk Lauk, Desa Jantuk, Senin (28/7/2014)
malam.
Dikatakan,
filosofi tradisi tersebut menunjukkan nilai – nilai perjuangan masyarakat tempo
dulu melawan penjajah serta Jantuk sangat diistimewakan di masa Kerajaan Jereweh. Terlepas dari filosofi tersebut,
diakui, sebagian besar masyarakat Jantuk memang mendapatkan penghasilan dari
beternak kuda. ‘’Desa
Jantuk dulu sangat
diistimewakan ketika masih disebut distrik di masa kerajaan,’’ akunya.
Mempertahankan
tradisi tersebut katanya, masyarakat khusus warga asli Jantuk diharuskan
mengikuti Tradisi Tiu atau menunggang
kuda. Pesertanya pun beragam, mulai dari pemuda, gadis hingga anak kecil.
Disebutkan, tahun ini kuda yang ikut serta menyemarakan tradisi tersebut kurang
lebih 200 ekor. ‘’Pokoknya tiap tahun itu terus meningkat,
tahun 2013 masyarakat siapkan 150 ekor kuda dan sekarang sekitar 200 ekor,’’ sebutnya.
Diakui, kuda –
kuda tersebut sebagian besar merupakan kuda yang sengaja di sewa oleh
masyarakat dengan harga bervariasi. Diketahui, di zaman dulu masyarakat menyewa
hanya Rp 15, sedangkan saat ini mencapai Rp 700 ribu. Tetapi,
tidak dipungkiri sudah banyak masyarakat yang mulai memelihara kuda yang
dipersiapkan untuk mengikuti tradisi tersebut. “Dulu kita bisa sewa Rp 15,
sekarang sampai Rp 700 ribu,” sebutnya
seraya menambahkan tradisi ini, hanya bisa diikuti oleh masyarakat Jantuk dan
tiap tahun warga yang keturunan Jantuk wajib pulang menyaksikan perayaan
tersebut.
Apa alasan tokoh
masyarakat memulai tradisi ini pukul 04.00 hingga pukul 07.00 ? Muslimin
menjelaskan, sudah tradisi yang diterima dari nenek moyang dari tahun ke tahun.
Pertimbangan lain sambungnya, menghindari kemacetan apabila dilaksanakan pagi,
siang atau sore hari. “Ini memang sudah tradisi dari dulu,” jawabnya serta
berharap agar tradisi itu, tetap dipertahankan dan paling tidak menjadi tradisi
yang dapat mengundang wisatawan. “Mudah – mudahan ini tetap eksis atau
dipertahankan oleh generasi selanjutnya,” ujarnya.
Hafifudin pemuda
Desa Jantuk mengakui, dirinya diajarkan menunggang kuda oleh orangtuanya sejak
duduk di kelas 1 SD. Dari tradisi tersebut menurutnya, ada
pembelajaran yang didapatkan, baik itu nilai perjuangan serta kegigihan orang
tempo dulu mempertahankan diri melawan penjajah dengan menunggang kuda tanpa pelana, cukup dengan cemeti serta tali kekang.
Tidak seperti
teman sebayanya, Hafif tidak perlu menyewa kuda dengan harga mahal yang
ditawarkan para pemilik kuda setiap tahunnya. Lantaran orangtuanya memelihara
kuda secara turun temurun. Dia berharap khususnya
kepada pemerintah, agar tradisi itu diperhatikan. Artinya, paling tidak menjadi
kalender budaya tahunan, karena tradisi ini hanya bisa ditemukan di Jantuk.
Kedua, fasilitas penunjang dan promosi – promosi kepada masyarakat luar bisa
digalakkan, sehingga eksistensi tradisi tersebut bisa dikenal. (cem/suara ntb)
0 komentar:
Post a Comment