Seorang penenun di Sukarara Loteng sedang membuat kain songket. |
Bicara kerajinan kain tenun,
Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) punya ikon bernama kain songket. Namun dari
sekian banyak kain songket yang ada, kain songket asal Desa Sukarara Kecamatan
Jonggat yang paling dikenal. Bukan hanya untuk ukuran NTB, tetapi Indonesia
bahkan dunia.
Tidak berlebihan memang.
Lantaran songket Sukarara kini sudah begitu dikenal luas. Bahkan sudah
merambah pasar dunia. Melalui songket Sukarara pulalah,
Loteng juga bisa dikenal sebagai daerah yang tidak hanya kaya akan potensi alam, tapi kaya akan karya seni bernilai tinggi.
Loteng juga bisa dikenal sebagai daerah yang tidak hanya kaya akan potensi alam, tapi kaya akan karya seni bernilai tinggi.
kain songket hasil produksi penenun di Sukarara
Jonggat Loteng. Sebagian besar kain songket ini sudah merambah pasar ekspor |
Bagi warga Desa Sukarara sendiri,
songket kini bukan hanya sebatas hiasan dan pelengkap busana adat. Tetapi sudah
menjadi sebuah entitas desa sekaligus salah satu penopang ekonomi keluarga.
Dengan songket, warga Desa Sukarara kini bisa menatap harapan akan penghidupan
yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Kembali bicara masalah
songket. Memiliki nilai seni tinggi, maka tidak salah kalau kemudian Songket Sukarara
dibandrol dengan harga cukup tinggi. Belum lagi jika melihat proses
pembuatannya yang tidak kalah rumit serta butuh waktu yang cukup lama. Karena
seluruh proses pembuatannya, menggunakan tangan. Dibantu alat tenun sederhana
bernama Sengseq.
kain songket hasil produksi penenun di Sukarara
Jonggat Loteng. Sebagian besar kain songket ini sudah merambah pasar ekspor |
Untuk membuat songket Sukarara
dengan ukuran standar lebar 65 cm dan panjang 2 meter misalnya, paling
tidak butuh waktu tiga sampai empat minggu. Waktu yang dibutuhkan bisa lebih
lama lagi, tergantung tingkat kesulitan motif serta panjang songket yang
dibuat. Selama itu, si pembuat dituntut untuk tetap tekun dan telaten.
“Kalau tidak telaten, teliti
serta cermat sulit untuk bisa menghasilkan songket yang baik,” aku Inaq
Sri, salah perajin songket Sukarara pada
Suara NTB, Sabtu (24/1/2015).
Para perajin biasanya mulai menenun
dalam bahasa lokal “nenseq atau nyenseq”
pada pagi hari. Menjelang siang, para perajin khususnya yang berstatus ibu
rumah tangga menghentikan sejenak kegiatannya itu. Untuk memasak makanan bagi
anggota keluargnya serta menjalankan kegiatan lain seperti ibadah. Selepas itu,
kegiatan nyenseq pun dilanjutkan kembali hingga menjelang sore hari.
Sehingga praktis selama satu hari diiisi oleh kegiatan menenun.
“Bagi sebagian orang kegiatan nyenseq ini bisa jadi kegiatan yang
membosahkan sekaligus melelahkan,” ujar Sri. Bagaimana tidak, dari pagi hingga
sore harus bergelut dengan benang. Salah sedikit, bisa fatal hasilnya, sehingga
untuk menjadi penenun songket dibutuhkan ketekunan dan fokus.
Benang yang menjadi bahan utama
untuk membuat songket Sukarara pun beraneka ragam. Mulai dari benang kualitas
pasar hingga benang sutra berkualitas tinggi. Itulah yang kemudian
menjadi penentu tinggi rendahnya harga jual songket Sukarara. “Kalau untuk
kelas benang biasa, harga satu lembar songket Sukarara sekitar Rp 500 ribu.
Tetapi kalau dibuat dari benang mahal seperti sutra, harganya bisa mencapai Rp
2 juta lebih,” tambahnya.
Motif yang ditawarkan juga cukup
beragam. Namun yang paling dikenal dan banyak diburu ialah motif Subanala dan
Seret Penginang. Namun seiring kemajuan zaman, motif pun ikut berkembang sesuai
keinginan pasar. Terkadang penenun juga menyiapkan motif tersendiri sesuai
keinginan pemesan.
“Jika motif yang kita siapkan
tidak ada yang disukai konsumen. Kita juga siap membuatkan motif sesuai keinginan
pemesan. Jadi motifnya lebih fleksibel dan tidak kaku pada beberapa motif
saja,” akunya.
Pasar songket Sukarara juga
bukan hanya pasar lokal. Seperti yang dikatakan tadi, songket Sukarara juga
sudah merambah pasar regional dan internasional. Untuk regional, songket
Sukarara banyak yang dikirim ke Bali, Surabaya serta Jakarta. Sedangkan untuk
pasar internasional, banyak yang dikirim ke Jepang, Singapura hingga Prancis.
Dengan berkembang pesatnya era
digital, tambah Kepala Desa Sukarara, Timan, peminat songket Sukarara kini
tidak harus capek-capek datang ke langsung Sukarara, khususnya bagi pasar
internasional. Beberapa sentra penjualan songket Sukarara kini sudah mulai
memanfaatkan internet sebagai media pemasaran.
''Peminat songket Sukarara asal
luar negeri kini sudah bisa memesan lewat internet kok. Tidak mesti harus
datang langsung. Kualitas barang pun dijamin memuaskan,” jaminnya.
Industri Rumahan
Khusus bagi warga Desa Sukarara, lanjut Timan, menenun
songket sudah menjadi pekerjaan sehari-hari dan sebagai industri rumahan.
Penenun songket pun tidak hanya didominasi ibu-ibu dan remaja putri saja.
Anak-anak kelas VI SD pun kini sudah banyak yang mahir menenun songket. “Bisa
dikatakan hampir di semua rumah ada penenun songket. Entah itu nenek, ibu, anak
hingga menantu,” imbuhnya.
Timan mengatakan, sesuai hasil pendataan hingga tahun 2013 lalu, tercatata ada sekitar 2.816 penenun songket di Desa Sukarara, sehingga menegaskan status Desa Sukarara sebagai desa songket. Alasannya, walau penenun songket juga ada di desa lain, tapi jumlahnya tidak sebanyak di Desa Sukarara.(SUara NTB)
0 komentar:
Post a Comment