Sistem kelistrikan di NTB dinilai terburuk
dan termahal di Indonesia. Hal itu terlihat dengan seringnya dilakukan pemadaman serta mahalnya biaya produksi
listrik di daerah ini dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Mahalnya
biaya produksi listrik di NTB itu lantaran, sekitar 80 persen pembangkit
listrik di daerah ini masih menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD).
‘’Ke depan NTB harus memperbaiki sistem kelistrikannya.
Karena sistem kelistrikan di NTB,
terburuk di Indonesia,’’ kata Anggota Komisi VII Bidang Energi dan Pertambangan DPR RI, Dr. H.
Kurtubi, M.Sc saat melakukan kunjungan kerja di Kantor Dinas Pertambangan dan
Energi (Distamben) NTB, Rabu (4/3/2015).
Hal
itu katanya, dibuktikan oleh
beberapa indikator. Pertama, biaya produksi listrik di NTB termahal di Indonesia,
sekitar Rp 3.500 per kwh.
Jika dibandingkan daerah lain di Indonesia
yang pembangkit listriknya menggunakan PLTU, biaya produksi listrik sekitar Rp
2.000 per kwh. Sementara, jika menggunakan PLTG, biaya produksi listrinya
sekitar Rp 700- Rp 900 per kwh. Biaya produksi listrik inilah yang berpengaruh
pada pelanggan.
Ia mengungkapkan, saat ini sebesar 80
persen pembangkit listrik yang ada di NTB adalah PLTD. Pembangkit
listrik ini, menggunakan Bahan Bakar
Minyak (BBM) dan juga
sebagian besar adalah mesin
sewa, bukan milik PLN.
‘’Ini harus dikoreksi total sistem listrik
NTB ini. Tidak boleh ke depan, listrik NTB ini digantungkan begitu dominan
terhadap BBM yang sangat mahal,”imbuhnya.
Ahli perminyakan ini, mendorong pemerintah
supaya segera membangun dan mempercepat pembangunan pembangkit non PLTD seperti
PLTU, PLTG dan pembangkit listrik energi baru terbarukan seperti Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi di Sembalun, PLTMH, PLTS
dan energi biomassa yang sudah diprogramkan pemerintah.
“Agar rasio elektrifikasi NTB terendah di seluruh
Indonesia sekitar 67 persen. Provinsi lain sudah 80 persen. Lima tahun kedepan,
listrik di NTB harus meningkat secara kongkrit,” tandasnya.
Politisi Nasdem Dapil NTB ini menambahkan,
listrik di NTB dalam beberapa tahun ke depan tak boleh byarpet (mati hidup). Untuk itu, pengerjaan proyek PLTU Jeranjang
unit I dan II yang hingga kini belum bisa beroperasi diminta dipercepat.
Pengerjaan proyek itu tak boleh tersandera oleh kontraktor pelaksanaan yakni
PT. Barata Indonesia.
Jika perusahaan BUMN itu tak mampu
memenuhi janjinya menyelesaikan kontrak sesuai dengan batas waktu yang
ditentukan, ia meminta Kementerian BUMN menegur keras perusahaan tersebut. ‘’Kalau ndak mampu bilang ndak mampu. Beri peluang kepada yang mampu, katakanlah PLN.’’ ‘’ Sekali lagi, Jeranjang segera diselesaikan apapun caranya. Apakah Barata segera
menyelesaikan kontraknya atau di take
over oleh PLN. Yang kami tahu ini dipercepat, agar pemadaman di Lombok
cepat selesai,” pungkasnya. (muhammad nasir)
0 komentar:
Post a Comment