Situs Wadu Pa'a yang merupakan bukti agama dan budaya Budha telah berkembang di Bima di zaman dahulu. |
MASYARAKAT Bima, mayoritas
beragama Islam. Namun diperkirakan sebelumnya, pernah ada masuk pengaruh Budha.
Ini terbukti dengan adanya warisan budaya yang dikenal dengan sebutan Wadu Pa’a.
Wadu
Pa’a
sendiri dalam bahasa Suku Mbojo terbagi menjadi dua kata yakni Wadu dan Pa’a. Bila diartikan dalam Bahasa
Indonesia menjadi Batu untuk Wadu dan Pahat untuk Pa’a. Jadi Wadu Pa`a adalah batu yang dipahat.
Ukiran- ukiran pada Wadu Pa’a mengandung nilai seni ukir yang sangat tinggi
karena media ukirannya bukan batu biasa. Melainkan tebing-tebing batu yang
berbentuk stupa dan terdapat ukiran bercorak Sang Budha, persis seperti relief
yang ada di Candi Borobudur.
Konon ceritanya pada masa
lampau, tepatnya pada abad ke 11. Batu itu dipahat dua orang bersaudara yakni
Indra Zamrud dan Indra Komala yang merupakan anak bangsawan dari Kerajaan
Majapahit di Jawa yang bernama Sang Bima, buah perkawinan dari salah satu putri
seorang Ncuhi. – Ncuhi waktu itu sebutan untuk pemimpin suatu wilayah di Bima atau
Kepala Suku sebelum zaman kerajaan.
sejumlah wisatawan lokal berpose di antara deretan ukiran yang berbentuk Candi Borobudur di situs Wadu Pa'a Bima NTB |
Budayawan Bima Alan Malingi
dalam bukunya “Legenda Tanah Bima”, yang mendeskripsi di blog “Romantika Bima” menceritakan,
saat Sang Bima hendak meninggalkan tanah Bima, dia didatangi oleh para Ncuhi untuk dimintai kesediaan menjadi
pemimpin tanah Bima. Pada saat itu, Sang Bima sedang memahat tebing di kaki Bukit Lembo, Dusun Sowa, Desa Kananta,
Kecamatan Soromandi, yang akhirnya tenar dengan Wadu Pa’a.
Masih dalam tulisannya, Alan Malingi mengurai, dari berbagai literatur sejarah, situs Wadu Pa’a merupakan salah satu situs Candi Tebing yang memiliki nilai histrois yang cukup tinggi. Wadu Pa’a merupakan tempat pemujaan agama Budha, atau mengandung unsur Budha dan Siwa.
Hal itu diperkuat dengan
ditemukannnya relief Ganesha, Mahaguru, Lingga-Yoni, relief Budha (Bumi Sparsa
Mudra), termasuk stupa yang menyerupai bentuk stupa Goa Gajah di Bali
atau stupa-stupa di Candi Borobudur yang berasal dari abad X. Hal itu didukung
dengan terteranya Candrasangkala pada
prasasti yang berbunyi Saka Waisaka Purnamasidi atau tahun 631 Caka yang
disesuaikan dengan tahun 709 Masehi.
Terlepas dari cerita itu, yang
jelas Wadu Pa’a merupakan destinasi
wisata budaya yang cukup potensial. Tidak saja bagi Kabupaten Bima, tetapi juga
bagi NTB. Beberapa bentuk pahatan yang bernilai seni rupa yang indah dan
mempesona. Letaknya juga berada di dalam sebuah teluk kecil yang menjadi
persinggahan perahu nelayan saat gelombang besar di perairan laut Flores, masyarakat
sekitar menyebutnya So Wadu Pa’a atau
Teluk Batu Pahat. Keberadaan situs ini
bagi menjadi andalan destinasi wisata Kabupaten Bima.
Kendati tersimpan beberapa
karya seni rupa bernilai tinggi dan menjadi salah satu bukti sejarah masuknya
pengaruh Budha, namun perhatian pemerintah secara khusus tidak ada. Ini
terbukti akses untuk menjangkau tempat itu sangatlah sulit karena harus
melewati beberapa jalan rusak.
Karena itu, masyarakat lebih
banyak menggunakan jalur laut yang terbilang mudah dan tidak ada hambatan
ketimbang lewat darat yang memakan waktu berjam-jam. Bila dikelola dan ditata
dengan baik, situs Wadu Pa’a akan mampu menghasilkan PAD dari sector pariwisata ini.
Tidak saja menguntungkan pemerintah daerah. Masyarakat disekitarnya terutama, akan sangat merasakan dampaknya. Lebih-lebih jika situs ini akan menjadi cagar budaya. Seperti halnya Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah dan situs-situs lainnya. (Uki/Suara NTB)
0 komentar:
Post a Comment