Be Your Inspiration

Tuesday, 17 February 2015

Situs Wadu Pa’a, Peninggalan Agama Budha di Bima NTB


Situs Wadu Pa'a yang merupakan bukti agama dan budaya 
Budha telah berkembang di Bima di zaman dahulu.
MASYARAKAT Bima, mayoritas beragama Islam. Namun diperkirakan sebelumnya, pernah ada masuk pengaruh Budha. Ini terbukti dengan adanya warisan budaya yang dikenal dengan sebutan Wadu Pa’a.   



Wadu Pa’a sendiri dalam bahasa Suku Mbojo terbagi menjadi dua kata yakni Wadu dan Pa’a.  Bila diartikan dalam Bahasa Indonesia menjadi Batu untuk Wadu dan Pahat untuk Pa’a. Jadi Wadu Pa`a adalah batu yang dipahat. 
 
Tampak ukiran Patung Budha di situs Wadu Pa'a di Bima NTB


Ukiran- ukiran pada Wadu Pa’a  mengandung nilai seni ukir yang sangat tinggi karena media ukirannya bukan batu biasa. Melainkan tebing-tebing batu yang berbentuk stupa dan terdapat ukiran bercorak Sang Budha, persis seperti relief yang ada di Candi Borobudur.



Konon ceritanya pada masa lampau, tepatnya pada abad ke 11. Batu itu dipahat dua orang bersaudara yakni Indra Zamrud dan Indra Komala yang merupakan anak bangsawan dari Kerajaan Majapahit di Jawa yang bernama Sang Bima, buah perkawinan dari salah satu putri seorang Ncuhi.Ncuhi waktu itu sebutan untuk pemimpin suatu wilayah di Bima atau Kepala Suku sebelum zaman kerajaan.  
 
sejumlah wisatawan lokal berpose di antara deretan ukiran yang berbentuk
Candi Borobudur di situs Wadu Pa'a Bima NTB



Budayawan Bima Alan Malingi dalam bukunya “Legenda Tanah Bima”, yang mendeskripsi di blog “Romantika Bima” menceritakan, saat Sang Bima hendak meninggalkan tanah Bima, dia didatangi oleh para Ncuhi untuk dimintai kesediaan menjadi pemimpin tanah Bima. Pada saat itu, Sang Bima sedang memahat tebing  di kaki Bukit Lembo, Dusun Sowa, Desa Kananta, Kecamatan Soromandi, yang akhirnya tenar dengan Wadu Pa’a.

Masih dalam tulisannya, Alan Malingi mengurai, dari berbagai literatur sejarah, situs Wadu Pa’a merupakan salah satu situs Candi Tebing yang memiliki nilai histrois yang cukup tinggi. Wadu Pa’a merupakan tempat pemujaan agama Budha, atau mengandung unsur Budha dan Siwa. 
 
Tampak patung menyerupai Budha ada di situs ini



Hal itu diperkuat dengan ditemukannnya relief Ganesha, Mahaguru, Lingga-Yoni, relief Budha (Bumi Sparsa Mudra), termasuk stupa yang menyerupai bentuk  stupa Goa Gajah di Bali atau stupa-stupa di Candi Borobudur yang berasal dari abad X. Hal itu didukung dengan terteranya Candrasangkala pada prasasti yang berbunyi Saka Waisaka Purnamasidi atau tahun 631 Caka yang disesuaikan dengan tahun 709 Masehi.



Terlepas dari cerita itu, yang jelas Wadu Pa’a merupakan destinasi wisata budaya yang cukup potensial. Tidak saja bagi Kabupaten Bima, tetapi juga bagi NTB. Beberapa bentuk pahatan yang bernilai seni rupa yang indah dan mempesona. Letaknya juga berada di dalam sebuah teluk kecil yang menjadi persinggahan perahu nelayan saat gelombang besar di perairan laut Flores, masyarakat sekitar menyebutnya So Wadu Pa’a atau Teluk  Batu Pahat. Keberadaan situs ini bagi menjadi andalan destinasi wisata Kabupaten Bima.



Kendati tersimpan beberapa karya seni rupa bernilai tinggi dan menjadi salah satu bukti sejarah masuknya pengaruh Budha, namun perhatian pemerintah secara khusus tidak ada. Ini terbukti akses untuk menjangkau tempat itu sangatlah sulit karena harus melewati beberapa jalan rusak.



Karena itu, masyarakat lebih banyak menggunakan jalur laut yang terbilang mudah dan tidak ada hambatan ketimbang lewat darat yang memakan waktu berjam-jam. Bila dikelola dan ditata dengan baik,  situs Wadu Pa’a akan mampu menghasilkan PAD dari sector pariwisata ini.

Tidak saja menguntungkan pemerintah daerah. Masyarakat disekitarnya terutama, akan sangat merasakan dampaknya. Lebih-lebih jika situs ini akan menjadi cagar budaya. Seperti halnya Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah dan situs-situs lainnya. (Uki/Suara NTB)


Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive