Peresean dari Lombok sudah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO |
Meski Peresean
salah satu situs Kebudayaan tradisional di Pulau Lombok dinyatakan telah
terdaftar sebagai warisan tak benda sekaligus sebagai kekayaan bangsa, ternyata
masih banyak lagi situs – situs kebudayaan di wilayah ini yang belum masuk
serta terdaftar dalam data sekaligus memiliki hak paten atas nama kekayaan
milik Indonesia. Beberapa di antaranya, sebut saja tradisi Pepakon
dari Kawasan Lenek, Kabupaten Lombok Timur, Prosesi Nyungkin dari Sembalun, KLU dan Buang Bayang di Kawasan Pesisir Pantai.
dari Kawasan Lenek, Kabupaten Lombok Timur, Prosesi Nyungkin dari Sembalun, KLU dan Buang Bayang di Kawasan Pesisir Pantai.
Demikian dikatakan Mamiq Jagad yang membidangi
Ritual dan Seni Tradisional di Majelis Adat Sasak (MAS), Selasa (30/9). Ia
menerangkan, tiga situs yang diungkapnya itu juga bukan hanya satu – satunya
kebudayaan daerah yang belum terdata, melainkan beragam tradisi dan budaya yang
ada di NTB khususnya di pulau Lombok belum terdata secara maksimal. Ia
berharap, kedepan pihak pemerintah terus mengupayakan untuk dilakukannya
pendataan sehingga situs – situs yang menjadi warisan nenek moyang tidak
tenggelam dengan begitu saja.
“Sebenarnya masih banyak situs kebudayaan
tradisional kita yang belum masuk dalam daftar kekayaan negara. Terakhir
kemarin yang sudah masuk itu tradisi peresean
dan sekarang tradisi tersebut sudah dipatenkan serta sudah teregistrasi
dalam Daftar Warisan Budaya Tak Benda,” katanya.
Sementara itu, ia menuturkan terkait tradisi pepakon yang ada di Kawasan Lenek Lombok
Timur. Dari keterangannya, Tradisi Pepakon
merupakan semacam tarian tradisional, namun uniknya sang penari berjalan di atas
bara api. Biasanya, para penarinya didominasi oleh kaum perempuan. Sayangnya,
tradisi itu hanya dikeluarkan pada saat – saat tertentu serta menjadi hiburan
yang cukup menarik bagi masyarakat setempat.
“Pepakon
itu masih eksis kok sampai sekarang,
namun pertunjukannya hanya dilakukan pada saat - saat tertentu saja. Jadi Pepakon itu semacam tarian namun sang
penarinya menginjakkan kaki pada api yang sedang membara. Itu uniknya dan sang
penarinya tidak terbakar,” jelasnya.
Konon, katanya, sebetulnya yang menari itu bukan
manusia biasa, melainkan jasad yang menari itu hanya pinjaman dan diisikan oleh
makhluk ghaib.
Selain tradisi itu, ia juga menjelaskan dua situs
lainnya yang juga belum masuk dalam daftar Warisan Tak Benda milik Indonesia.
Dua warisan tersebut berkembang di dua kawasan di antanya di Sembalun, KLU dan
di pesisir pantai yang ada di wilayah Ampenan.
“Beberapa situs lainnya di KLU, khususnya di
Sembalun, di sana ada prosesi Nyungkin, prosesi
itu hanya akan dilakukan ketika ada tanda – tanda atau isyarat keanehan alam.
Semua gadis atau janda yang ada dikumpulkan di dalam rumah adat, satu per satu
kemudian mereka diperiksa perutnya,” katanya. “Biasanya hal itu dilakukan agar
mencegah terjadinya bencana alam,” tambahnya.
Adapun selain Nyungkin
dan Pepakon, di wilayah Mataram sendiri juga memiliki satu
situs tradisional yang juga diharapkannya masuk dalam daftar warisan tak benda.
Tradisi tersebut yakni sebuah prosesi adat yang berkembang di kalangan
masyarakat yang ada di pesisir pantai. Tradisi tersebut oleh masyarakat
dijuluki Tradisi “Buang Bayang”.
Tradisi yang berkembang di kawasan pesisir itu,
menurut Mamiq Jagad merupakan kearifan lokal yang harus mendapatkan perhatian
dari pemerintah. Sebab bilamana dilakukan, hal tersebut juga akan menjadi
momentum pelestarian budaya sehingga eksistensinya tidak terkalahkan dengan
yang lainnya.
“Kalau tradisi Buang Bayang – Bayang ini ada di
wilayah Segare Utara (Laut Utara-red)
yakni dari kawasan pantai Ampenan selanjutnya ke utara. Tradisi itu dilakukan
masyarakat dalam satu kali setahun. Menurut leluhur kita yang kerap melakukan
prosesi itu bahwasanya laut itu ternyata butuh istirahat. Jadi tidak hanya bisa
dikuras secara terus menerus oleh para nelayan,” katanya.
Dilanjutkan, dalam satu kali setahun, prosesi
peristirahatan laut itu dirangkai dengan pemotongan kerbau, di mana kulit dan
kepalanya disuguhkan ke laut dengan cara membuangnya di tengah lautan. Kulit
kerbau yang sudah disembelih itu juga digunakan untuk membungkus semacam
alakadar untuk persembahan kepada isi lautan.
“Setelah prosesi pemotongan kerbau, masyarakat
setempat melakukan Roah, Zikir dan
berdoa kepada Sang Khalik, kemudian dalam jangka waktu tiga hari tiga malam
tidak ada satupun nelayan yang boleh melaut,” jelasnya.
Diusulkan
Diterima
Dalam pembahasannya beberapa waktu lalu, sekitar 135
Warisan Tak Benda yang diregistrasikan. Meski demikian Pemerintah Pusat hanya
menetapkan sedikitnya 77 situs yang ada. Termasuk didalamnya, tradisi peresean yang berkembang di tengah
masyarakat Sasak, Lombok.
“Yang masuk dalam usulan kemarin itu hampir mencapai
135, akan tetapi setelah dilakukan presentasi dan pembahasan, ternyata hanya 77
situs yang kemudian ditetapkan sebagai
warisan tak benda pada tahun ini,” katanya.
Sebelumnya, ia mengungkapkan sekitar 2.644 warisan
tak benda yang dimiliki Indonesia, hanya enam situs yang kini diakui secara
internasional oleh UNESCO. Adapun keenam warisan tak benda itu di antaranya
yakni; Batik, Wayang Kulit, Angklung, Keris, Tari Saman dari Aceh, dan Noken
(semacam tas perlengkapan yang beredar ditengah masyarakat Papua). (Suara NTB)
0 komentar:
Post a Comment