Warga Gili Gede Sekotong Lombok Barat NTB yang masih mengkonsumsi air asin untuk keperluan sehari-hari. |
WARGA terpaksa mengkonsumsinya, lantaran tak mampu membeli
air galon. Mereka berharap bantuan mesin penyulingan air segera dioperasikan.
Namun apa daya, hingga kini mesin penyulingan tak bisa dioperasikan, karena
kerusakan pada aki. Padahal bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan ini
menelan biaya sangat tinggi mencapai Rp 2,9 miliar.
Kepala Dusun Orong
Bukal, Desa Gili Gede, Musdan menjelaskan, di Desa Gili Gede ada sekitar 450 KK.
Dari jumlah itu, sekitar 10 persen atau 135 warga masih mengkonsumsi air payau
(asin).
Musdan menuturkan, Desember 2010 lalu Desa Gili Gede
dinyatakan definitif terbentuk setelah terpisah dari Desa Sekotong Barat. Sejak
awal didirikan hingga sekarang warga setempat kesulitan air bersih. Jumlah
penduduk desa itu sekitar 1.350 jiwa, dari jumlah itu saat ini tersisa sekitar
10 persen mengkonsumsi air asin.
10 persen warga itu
terang dia, warga tergolong tidak mampu atau miskin. Mereka tidak mampu membeli
air galon, sehingga terpaksa mengkonsumsi air payau. Dari jumlah penduduk yang
ada, sebagian besar adalah nelayan dan menggantungkan hidup dari hasil laut.
Bagi sebagian warga yang mampu membeli galon, memasok dari Pulau
Lombok daratan. Harga jual air pun naik
dua kali lipat, biasanya dibeli Rp 10-12 ribu naik menjadi 15 ribu lebih. Karena
kondisi ini, pihak desa pun mengusulkan agar desa setempat bisa dibantu
peralatan mesin penyulingan air agar bisa mengubah air asin menjadi air minum
biasa (konsumsi), usulan itu pun direspons oleh pusat. Tahun 2012-2013 lalu,
KKP membangunkan mesin penyulingan air Rp 2,9 miliar, namun sangat disayangkan
sebulan beroperasi mesin itu rusak. “Sekarang akinya rusak,” ujarnya.
Kondisi itu semakin membuat warga merana, warga tidak tahu
lagi memperoleh air dari mana, sehingga terus memasok dari daerah seberang
meskipun harga relatif lebih mahal. Akan tetap harapan baru bagi warga
setempat, karena KKP kembali mendirikan mesin penyulingan air senilai Rp 1,7
miliar.
Tidak saja persoalan air bersih yang menjadi masalah pelik di daerah Gili tersebut, namun warga juga sangat mendambakan listrik masuk ke daerah itu. Sejak desa itu berdiri, warga setempat mengalami kendala listrik. Selama bertahun-tahun warga hanya mengandalkan penerangan seperti lampu tempel dan petromak. Program pemasangan instalasi listrik dari PLN sebenarnya telah masuk tahun ini, namun setelah terpasang instalasi tidak ada tindaklanjutnya. “Katanya sih diduga kontraktornya lari,” tukasnya. Kini warga setempat buruh keseriusan pemerintah, memperhatikan daerah itu. (Suara NTB)
0 komentar:
Post a Comment