Nelayan Selong Belanak Lombok Tengah usai mencari ikan di tengah laut. Potensi objek wisata Lombok Tengah sangat menjanjikan, tapi kebanyakan lahan masih dikuasai broker atau makelar tanah. |
Kondisi
dunia pariwisata di Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) diakui masih sulit untuk
bisa berkembang, kendati potensi pariwisatanya cukup menjanjikan. Salah satu
kendala utamanya, yakni banyaknya lahan-lahan potesial di sekitar kawasan
wisata yang kini sudah dikuasai oleh broker tanah berkedok investor.
Hal itu
diakui Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Loteng, H.L. Putrie,
Kamis (9/10/2014).
Putrie mengatakan saat ini sudah sekitar 85 persen lahan-lahan
potesial di sekitar kawasan wisata Loteng yang sudah dikuasai oleh broker tanah
yang mengaku sebagai investor. Itu artinya masih tinggal sekitar 15 persen saja
lahan potensial kawasan pariwisata Loteng yang belum diambil alih oleh broker
tanah. “Ini fakta dan kenyataan yang kita hadapi saat ini,” sebutnya.
Ia
mencontohkan di kawasan wisata Selong Belanak misalnya, hampir sebagian besar
tanah-tanah potesialnya sudah berganti kepemilikan. Baik itu broker tanah kecil
hingga broker tanah berlabel perusahaan besar. Yang justru bukannya membangun
dan mengembangkan lahan tersebut. Namun justru menelantarkan tanah-tanah yang
dikuasai tanpa ada kejelasan pengembangan.
Tanah-tanah
tersebut, kata Putrie ditelantarkan antara 20 sampai 30 tahun lamanya. Dimana
hingga kini rencana pengembangan oleh pemilik tanah tersebut, tidak jelas sama
sekali. Dan, dari hasil invetarisasi yang dilakukan pihaknya, tercatat ada
lebih dari seratus lebih broker tanah yang kini menguasai lahan-lahan potensial
di kawasan wisata Loteng. Sehingga wajar kalau pariwisata Loteng sulit
berkembang.
Terhadap
persoalan tersebut, pihaknya sudah melalui beberapa upaya. Misalnya dengan
melayangkan teguran kepada pemilik lahan. Supaya bisa segera mengembangkan
lahan-lahan yang dikuasainya. Sesuai janji dan komitmen awalnya saat membeli
lahan-lahan tersebut.
Tidak hanya
itu, pemerintah daerah sendiri juga sudah melaporkan data hasil inventarisasi
atas tanah-tanah milik investor atau broker tanah tersebut. Untuk diusulkan
status lahanya supaya ditetapkan sebagai lahan telantar sesuai aturan yang
berlaku ke pihak BPN.
“Jadi kalau
belum ada penetapan status tanah telantar oleh BPN, maka pemerintah daerah
tidak bisa mengambil alih lahan tersebut. Atas dasar itulah, kita sudah
sampaikan laporan hasil invetarisasi atas lahan-lahan yang ditelantarkan oleh
investor atau broker tanah,” tegasnya.
Deadline
waktu itu sendiri sudah mulai diberlakukan sejak tahun 2013 lalu. Artinya,
masih ada waktu 2,5 tahun lagi, bagi investor untuk menegaskan rencana
pengembangan lahan yang dikuasainya. Kalau batas waktu tersebut tidak bisa
dipenuhi, maka terpaksa lahan-lahan tersebut akan ditetapkan sebagai tanah
telantar. “Dan, sesuai aturan tanah-tanah yang berstatus tanah terlantas bisa
diambil alih oleh negara dalam hal ini pemerintah daerah,” tandasnya. (Suara NTB)
0 komentar:
Post a Comment