Perwakilan Indonesia berpose bersama di Chang-dong Korea Selatan |
KUNJUNGAN ke Desa Chang atau Chang-dong mengawali kegiatan Tim 9
Top Inovasi Nasional di Korea Selatan. Desa ini berhasi memenangkan United Nation Public Service Award (UNPSA) 2014
– Penghargaan Pelayanan Publik Dunia.
Kereta cepat Korea Train eXpress
disingkat KTX membawa 18 peserta yang dikomandani Asdep Pelayanan Publik III KemenPANRB, Damayani Tyastianti menuju Changwon.
Sebuah kota di Korea Selatan, ibu kota provinsi Gyeongsang Selatan atau
Gyeongsangnam-do.
KTX ini ini dirancang
dengan konsep Train Grande Vitesse (TGV) Perancis
dengan kecepatan tertinggi 350 km/jam atau lebih. Dengan menggunakan rel
kecepatan tinggi kereta ini dapat mengantarkan rombongan menuju Changwon dalam
waktu 180 menit dengan 4 kali pemberhentian dengan jarak 480 km.
Korea Selatan memperoduksi sebanyak 46
kereta cepat oleh pabrik lokal. Perusahaan jasa pariwisata banyak memanfaatkan
KTX dalam paket turnya. Tiket KTX dapat dipesan melalui mesin otomatis yang
disediakan di stasiun kereta, atau dapat pula melalui internet.
Di stasiun, semua penumpang berdiri
menanti kereta di lajur gerbong sesuai pesanan tiket. Tak ada petugas yang
mengarahkan penumpang. Semua informasi ada di setiap dinding yang berfungsi
sebagai penyangga atap stasiun. Pintu kereta secara otomatis terbuka dan
penumpang masuk di setiap gerbong. Dalam 10 menit pintu gerbong tertutup,
keretapun melaju ke statsiun berikutnya.
Diterima
oleh Park Jay Hyun, First Deputy Mayor
Changwon City Hall dan langsung menjelaskan tentang gambaran umum Changwon.
Selanjutnya penjelasan teknis mengenai Chang Dong sebagai desa percontohan yang
kemudian menang dalam UNPSA dijelaskan oleh Human
Resources & Organization Division Manager Jin Jong Sang.
Jin Jong Sang
menjelaskan, perjuangan Chang Dong dalam memperoleh penghargaan dunia bidang
pelayanan publik tak lepas dari semangat pemerintah dan masyarakat Changwon
yang ingin dikenal dunia. ‘’Alasan utama kami adalah agar Changwon dikenal
dunia,’’ jelas Jong Sang bersemangat.
Semangat
ini yang mendorong pemerintah Changwon menemukan Chang Dong sebagai desa
percontohan untuk kemudian menghadirkan sejumlah program peningkatan kapasitas
masyarakat dan ekonomi kreatif.
Seperti
halnya di Indonesia, Chang Dong yang sebelumnya padat kumuh dan miskin atau
istilah di Kota Mataram, NTB adalah PAKUMIS, kini menjadi tertata rapi, potensi
warga yang banyak terlibat seni dan perdagangan difasilitasi pemerintah
Changwon dan akhirnya desa lainpun mengikuti.
Mengelilingi
Desa Chang seperti juga melihat beberapa kota di Indonesia. Ada beberapa
kemiripan seperti tata ruang pemukiman dengan lorong-lorong sempit seukuran dua
sepeda motor berpapasan yang menghubungkan pemukiman warga.
‘’Semisal daerah
Braga dan Dago di Bandung Jawa Barat lah,’’ Kata Andy dari Bappeda Jabar
membandingkan penataan lingkungannya.
“Ya, di
NTB juga banyak desa yang berpotensi dijadikan percontohan untuk diikutsertakan
lomba di tingkat dunia,’’ tambah Agung Hartono.
Berkeliling
menyusuri lorong demi lorong di Chang Dong menyimpan sejumlah inspirasi yang
berpeluang direplikasikan di daerah. Rumah tinggal dijadikan artshop bagi perajinnya. Beragam karya
seni ditampilkan di balik kaca setiap rumah. Hasil buah tangan warga.
Ada juga
ruang expresi warga berupa gedung seni dan panggung hiburan tempat warga
mengapresiasi seni. Saat melintas di salah satu lorong, ada area terbuka seukuran
1 are sebagai tempat pentas seni warga.
Di semua
dindingnya dimanfaatkan sebagai ruang informasi tentang Chang Dong melalui
sejumlah foto dan info tertulis lainnya. Informasi itu menggambarkan Chang Dong
sebelum perubahan hingga kondisi sekarang. Bahkan di beberapa dinding rumah
warga sejumlah foto dari tokoh-tokoh pendiri desa.
Dokumen
visual inilah yang menjadi salah satu alasan perolehan penghargaan pelayanan
publik dunia selain gerakan pemberdayaan masyarakat dan lainnya. Semua kegiatan
pemerintah Changwon dalam pemberdayaan masyarakat difokuskan pada beberapa desa
hingga tuntas.
Kunjungan
mengelilingi Chang Dong berakhir di ujung desa. Perubahan wajah desa terlihat
dari penataan ruang terbuka hijau yang asri. Para pejalan kaki dan pesepeda
sangat menikmati kebebasannya menggunakan jalur yang ada di sepanjang trotoar.
Bangunan
stasiun kereta tua diperindah dengan goresan mural tangan terampil warga. Meski rel kereta sudah tak berfungsi
sebagai lintasan, namun tetap terawat indah dipandang mata dan menjadi taman
wisata. Beginilah cara pemerintah menghargai kota tua.
Hawa
dingin Kota Changwon mulai terasa menjelang matahari tenggelam. Jamuan makan
malam dari pemerintah Changwon menutup perjalanan awal di Korea Selatan.
Hidangan
menu masakannya banyak yang mirip dengan lidah dan selera Indonesia. Nasi putih
yang gurih, ikan laut dengan bumbu rempah sedikit pedas yang menghangatkan
badan ditambah sayuran mentah ala lalapan Indonesia menghiasi meja panjang
bergaya “saprah” (istilah sasak
Lombok) yang kemudian dinikmati dengan begibung
atau dimakan bersama menggunakan sumpit. (Suara NTB/Kampung Media)
0 komentar:
Post a Comment