Salah satu ritual wajib yang dulaksanakan masyarakat sebelum perang topat di pura Lingsar, Lobar, Sabtu (6/12/2014). |
Tradisi
tahunan perang topat yang dilaksanakan di Pura Lingsar, Sabtu (6/12/2014), dibanjiri ribuan
pengunjung, khususnya warga dari Kecamatan Lingsar dan sekitarnya. Namun perang
topat ini belum mampu menyedot animo wisatawan mancanegara.
Para pengunjung ini berkumpul menyaksikan perhelatan Perang Topat.
Ada kelompok yang mengenakan pakaian adat serta membawa rombong berupa lumbung
kecil berisi beras ketan.
Kelompok masyarakat ini terbagi atas dua suku, yakni Suku Sasak dan Suku Bali, menyatu dalam kegiatan tradisi warisan leluhur itu.
Kelompok masyarakat ini terbagi atas dua suku, yakni Suku Sasak dan Suku Bali, menyatu dalam kegiatan tradisi warisan leluhur itu.
Perang Topat
sendiri dilaksanakan setiap tahun pada Purnama Sasi keenam menurut Kalender
Bali, dan bulan purnama ke-pitu' (tujuh) menurut Kalender Sasak.
Perang Topat bertepatan dengan upacara persembahyangan pujawali bagi umat
Hindu.Tidak heran jika pada kegiatan tersebut dua kebudayaan tampak melebur.
Tokoh masyarakat dan tokoh agama dari kedua belah pihak ikut meramaikan kegiatan
tersebut.
Sejumlah
ritual sakral dilaksanakan sebelum Perang Topat dimulai. Berbagai piranti
Perang Topat disiapkan, misalnya, rombong berupa lumbung kecil berisi beras
ketan sebagai lambang kesejahteraan. Selain itu, juga terdapat sesaji berupa sembilan
dulang berisi nasi, berbagai macam buah-buahan sebagai simbol kesuburan, lamak atau alas yang terbuat dari tikar
pandan yang di dalamnya berisi sajadah dan Al Qur'an sebagai simbol ketakwaan.
Tidak hanya
itu, juga terdapat botol kosong yang tertutup rapat yang disebut momot sebagai simbol kehidupan kekal di
alam akhirat, hewan kerbau yang disembelih untuk dinikmati bersama-sama, dan
ketupat yang berjumlah ribuan yang setiap ikatnya berjumlah sembilan. Ikatan
sembilan itu merupakan pengingat akan keberadaan sembilan wali atau lebih
dikenal dengan Wali Songo.
Menurut
sebagian masyarakat Islam Suku Sasak, tradisi Perang Topat merupakan acara
memperingati masuknya syiar Islam tempo doeloe. Kegiatan itu sekaligus
mencerminkan rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan kemakmuran.
Sementara bagi umat Hindu, Perang Topat menjadi manifestasi segala sesuatu
menjadi milik-Nya. Sehingga kegiatan itu juga menjadi bagian dari ritual
persembahyangan di Pura Lingsar.
Dalam
sambutanya, Bupati Lombok Barat, H. Zaini Arony mengatakan, budaya Perang Topat
merupakan satu kesatuan yang unik. Perang Topat dinilai memiliki esensi, yakni
mewujudkan persatuan dengan adanya hubungan antardua budaya. ‘”Ada satu benang
merah antara Islam dan Hindu dalam budaya Perang Topat ini,’’ kata Zaini.
Zaini
menambahkan, Perang Topat di Lombok Barat merupakan kegiatan yang penuh dengan
nuansa unik. Kegiatan itu dilaksanakan setelah acara Pura dan Kemaliq selesai,
yakni pada saat Rara’ Kembang Waru
atau gugurnya kembang waru.
Setelah itu
dilanjutkan dengan ritual perang topat yakni saling lempar dengan ketupat.
Ribuan ketupat dilemparkan segenap pengunjung, sesaat setelah Bupati Lobar
beserta Wabup Lobar, Wagub NTB, H Muh. Amin dan sejumlah tokoh agama dan tokoh
masyarakat melempar ketupat ke tengah kerumunan masyarakat.
Diantara
masyarakat yang hadir juga terdapat turis asing yang ikut menyaksikan Perang
Topat. Namun jumlahnya tidak banyak, bisa dihitung dengan jari. Perang Topat di
Lobar juga dirangkai dengan kegiatan lainnya seperti pagelaran wayang,
pagelaran kesenian serta tari-tarian bernuansa Sasak dan Bali. (Suara NTB)
0 komentar:
Post a Comment