Be Your Inspiration

Sunday, 7 December 2014

Tradisi Perang Topat di Lombok Minim Wisatawan Asing



 
Salah satu ritual wajib yang dulaksanakan  
masyarakat sebelum perang topat di pura Lingsar, Lobar, 
Sabtu (6/12/2014).
Tradisi tahunan perang topat yang dilaksanakan di Pura Lingsar, Sabtu (6/12/2014), dibanjiri ribuan pengunjung, khususnya warga dari Kecamatan Lingsar dan sekitarnya. Namun perang topat ini belum mampu menyedot animo wisatawan mancanegara.

Para pengunjung ini berkumpul menyaksikan perhelatan Perang Topat. Ada kelompok yang mengenakan pakaian adat serta membawa rombong berupa lumbung kecil berisi beras ketan.
Kelompok masyarakat  ini terbagi atas dua suku, yakni Suku Sasak dan Suku Bali, menyatu dalam kegiatan tradisi warisan leluhur itu.

Perang Topat sendiri dilaksanakan setiap tahun pada Purnama Sasi keenam menurut Kalender Bali, dan  bulan purnama ke-pitu' (tujuh) menurut Kalender Sasak. Perang Topat bertepatan dengan upacara persembahyangan pujawali bagi umat Hindu.Tidak heran jika pada kegiatan tersebut dua kebudayaan tampak melebur. Tokoh masyarakat dan tokoh agama dari kedua belah pihak ikut meramaikan kegiatan tersebut.

Sejumlah ritual sakral dilaksanakan sebelum Perang Topat dimulai. Berbagai piranti Perang Topat disiapkan, misalnya, rombong berupa lumbung kecil berisi beras ketan sebagai lambang kesejahteraan. Selain itu, juga terdapat sesaji berupa sembilan dulang berisi nasi, berbagai macam buah-buahan sebagai simbol kesuburan, lamak atau alas yang terbuat dari tikar pandan yang di dalamnya berisi sajadah dan Al Qur'an sebagai simbol ketakwaan.

Tidak hanya itu, juga terdapat botol kosong yang tertutup rapat yang disebut momot sebagai simbol kehidupan kekal di alam akhirat, hewan kerbau yang disembelih untuk dinikmati bersama-sama, dan ketupat yang berjumlah ribuan yang setiap ikatnya berjumlah sembilan. Ikatan sembilan itu merupakan pengingat akan keberadaan sembilan wali atau lebih dikenal dengan Wali Songo.

Menurut sebagian masyarakat Islam Suku Sasak, tradisi Perang Topat merupakan acara memperingati masuknya syiar Islam tempo doeloe. Kegiatan itu sekaligus mencerminkan rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan kemakmuran. Sementara bagi umat Hindu, Perang Topat menjadi manifestasi segala sesuatu menjadi milik-Nya. Sehingga kegiatan itu juga menjadi bagian dari ritual persembahyangan di Pura Lingsar.

Dalam sambutanya, Bupati Lombok Barat, H. Zaini Arony mengatakan, budaya Perang Topat merupakan satu kesatuan yang unik. Perang Topat dinilai memiliki esensi, yakni mewujudkan persatuan dengan adanya hubungan antardua budaya. ‘”Ada satu benang merah antara Islam dan Hindu dalam budaya Perang Topat ini,’’ kata Zaini.

Zaini menambahkan, Perang Topat di Lombok Barat merupakan kegiatan yang penuh dengan nuansa unik. Kegiatan itu dilaksanakan setelah acara Pura dan Kemaliq selesai, yakni pada saat Rara’ Kembang Waru atau gugurnya kembang waru. 

Setelah itu dilanjutkan dengan ritual perang topat yakni saling lempar dengan ketupat. Ribuan ketupat dilemparkan segenap pengunjung, sesaat setelah Bupati Lobar beserta Wabup Lobar, Wagub NTB, H Muh. Amin dan sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat melempar ketupat ke tengah kerumunan masyarakat.

Diantara masyarakat yang hadir juga terdapat turis asing yang ikut menyaksikan Perang Topat. Namun jumlahnya tidak banyak, bisa dihitung dengan jari. Perang Topat di Lobar juga dirangkai dengan kegiatan lainnya seperti pagelaran wayang, pagelaran kesenian serta tari-tarian bernuansa Sasak dan Bali. (Suara NTB)

 

Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive