Be Your Inspiration

Thursday, 24 July 2014

Warga Lombok Peringati Nuzulul Qur’an dengan Membakar ‘’Dile Jojor’’



Warga Dusun Sembung Barat,  Desa Sembung, 
Kecamatan Narmada, Lombok Barat, 
memperingati Nuzulul Qur’an 
dengan membakar dile jojor 
dimaknai sebagai tanda datangnya 
malam lailatul Qadar.
 MEMPERINGATI malam Nuzulul Qur’an di berbagai daerah dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang memperingati dengan menggelar majelis taklim, yakni mengundang penceramah untuk memberikan siraman rohani. Namun, ada yang memperingati dengan membakar dile jojor. Dile jojor ini terbuat dari kapas, lidi, buah jamplung atau buah jarak .

Seperti yang dilakukan warga Dusun Sembung Barat,  Desa Sembung, Kecamatan Narmada Lombok Barat, memperingati Nuzulul Qur’an dengan membakar dile jojor atau bahasa warga setempat dile jereten dimaknai sebagai tanda datangnya malam lailatul Qadar.


Tokoh masyarakat Sembung Barat, Amaq Kamil mengatakan, membakar dile jojor biasanya mulai dilakukan pada 10 terakhir bulan Ramadhan. ‘’Di beberapa desa ada yang merayakannya pada malam yang berbeda-beda. Namun harus pada malam yang ganjil, seperti malam 21, 25 dan 27 Ramadhan. Sebagian besar masyarakat memperingati pada malam ke 27. Perayaan ini merupakan tradisi turun temurun yang masih dilestarikan sampai saat ini,’’ tuturnya, Kamis (24/7/2014).

Selain itu, ujarnya, warga setempat menyebut sebagai maleman. Di mana pada malam tersebut masyarakat membawa dulang yang berisi nasi dan lauk ke mushalla atau masjid untuk mengadakan roah (makan bersama). ‘’Biasanya dile jereten ini dipasang di setiap sudut rumah, pintu, pohon, serta beras yang akan dijadikan sebagai zakat fitrah,’’ terangnya. 


Penggunaan dile jojor ini dilakukan dari dulu, dan tidak boleh diubah dengan menggunakan dile yang lain. Menurutnya, ada beberapa kawasan yang sudah mengubah dile jojor dengan menggunakan bahan bakar karet, namun ia menilai hal itu tidak boleh. “Ada yang menggunakan karet, tapi kita di sini tidak boleh,” terangnya.  Ini merupakan adat yang tidak bisa dihilangkan di Sembung Barat .

Sementara itu Kepala Desa Sembung Bohari mengharapkan masyarakat tetap melestarikan adat yang diwariskan nenek moyang. Dengan komitmen ini dari lima dusun di desa Sembung tetap merayakan maleman dengan bakar dile jojor.

Di sisi lain, tradisi maleman dengan bakar dile jojor memberikan keuntungan kepada pembuat. Pasalnya, bahan yang digunakan untuk membuat dile jereten itu mudah didapat yaitu jamplung dan kapas, sementara untuk stiknya terbuat dari bambu yang sudah diiris.

Kedan, salah satu pembuat dile jojor, menuturkan, pembuatan dile jojor ini tidak membutuhkan modal yang besar, karena buah jamplung itu tidak dibeli melainkan dipungut. “Saya mungut di sawah atau kebun  yang mempunyai pohon jamplung. Jadi sekalian saya pergi ke sawah saya tetap mengumpulkan itu,”  terangnya.
Namun untuk mengumpulkan jamplung dilakukan beberapa bulan sebelum bulan puasa, karena saat ini pohon jamplung sudah mulai berkurang.

Ada beberapa pembuat dile jojor yang lain menggunakan kemiri yang sudah rusak sebagai pengganti jamplong, karena dinilai jamplung sulit untuk dicari. Sehingga harga yang diberikan kepada masyarakat lebih mahal yaitu dalam satu bungkus berisi lima dile jojor dengan harga Rp 1.000.(suara ntb/radioglobalfmlombok)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive